Minggu, 02 Februari 2014

Ketika Diam

Lama rasanya sudah tak menulis disini.
Lama tidak mencercau disini.
Lama tidak curhat lagi di halaman-halaman ini.
Entahlah, rasanya otak saya sudah mau mati...

Satu.. Dua.. Tiga bulan..
Waktu yang cukup lama untuk seorang Chiezna tanpa karya sama sekali. Tulisan di tempat kerja? Itu tidak termasuk. Itu adalah sebuah kewajiban, bukan murni dorongan hati.
Lalu apakah saat itu Chiezna sudah tidak galau lagi? Entah, tapi yang aku tahu pasti, saat itu aku tengah tidak pandai merangkai diksi.
Lalu apakah saat ini Chiezna sudah kembali bisa menuangkan imajinasinya disini? Entah. Tapi yang aku tahu pasti, percakapanku kemarin dengan seseorang telah membuat insting diksi lebayku kembali muncul.
Lalu apakah ini pertanda baik atau buruk? Entahlah... Kali ini aku tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi.

Aku benar-benar tengah memeras otakku untuk menuliskan kata-kataku disini. Memang memaksakan, tapi karena hatiku benar-benar tengah ingin. Sesuatu sedang terjadi, didalam otak, didalam hati. Tapi entah apa, aku benar-benar tidak tahu.
Saat masih kuliah dulu, mungkin aku akan menggeber motorku ke Payung, mencari salah satu cafe yang sepi, memesan makanan ringan dan segelas kopi, berdiam disana sampai badan tak kuat lagi menahan dinginnya udara karena berangkat tanpa jaket. Atau mungkin melarikan diri ke salah satu pantai, duduk di tepian tanpa perduli berapa banyak mata yang memandang dengan heran, hanya menikmati deburan ombak yang tadinya jauh hingga berhasil membasahi seluruh baju dan badanku. Atau hanya sekedar berkeliling kota dengan motor kesayanganku, sampai otak dan nafasku kembali segar atau bahkan setelah air mataku mengering dan tenggorokanku sakit karena berteriak sepanjang jalanan sepi. Setelah itu, aku hanya akan mengurung diri dalam kamar kosan selama beberapa hari. Sampai bosan. Sampai otakku kembali normal.

Namun saat ini, disini, aku hanya bisa menuliskan semua yang aku pikirkan, sambil sesekali meremas kedua tanganku kuat, atau menangkupkan kedua tangan yang dingin ke wajahku sampai kembali aku sedikit normal. Segalanya telah berubah...

Proses pendewasaan itu benar-benar tidak mudah. Aku kira 2 tahun lalu itu adalah puncak ujian kedewasaan yang harus aku alami. Ternyata bukan. Semakin hari, semakin waktu, semakin lama, justru semakin sulit, dan semakin sulit. Bukan hanya karena itu normal, tapi karena aku juga semakin tidak bisa berbuat 'sakkarepku dewe'. Banyak alasan yang membuatku harus pandai untuk mengontrol dan menahan semuanya. Mungkin ini dirasakan oleh semua orang, tapi aku saja yang terlalu lemah dan memilih menceritakannya disini.

Bercerita pada Tuhan tentu sudah. Tapi Tuhan tidak bisa tanya jawab seperti layaknya dengan manusia kan?
Aku butuh seseorang untuk mendengarkan semua cercauanku. Aku butuh seseorang itu mampu memberikan jawaban tepat ketika aku mulai mengeluh.
Orang tuaku? Hey, aku bukan berada pada satu garis lurus dalam pemikiranku dengan orang tuaku.
Aku rasa aku hanya butuh teman. Teman yang benar-benar teman. Teman yang sungguh-sungguh teman.

Apakah itu benar? Entahlah, aku tidak benar-benar tahu pasti...

*
Ketika senja perlahan mulai tenggelam
Dibalik gelap kan datang kemenangan
Tanggalkan sayap dan lepas tanduk setanmu
Yang ada hanya kebenaran semesta

Dan kita para tentara, para pejuang waktu,
Tanah ini, luka ini demi esok yang lebih bersinar
Terus bersinar, cahaya cinta berpijar,
Dendam bukan mahkota, anggun lah kau bersinar

Kejar dan kejarlah jawaban atas misteri hidup dan
Peristiwa yang kan menggetarkan istana