Selasa, 30 Juli 2013

Bisikan Abu Biang

Bagaimana sebuah hati bisa menangis setelah mati?
Bagaimana bisa seorang maya menggambarkan sendiri hidupnya jadi nyata?
Aku bukan biduan tanpa raga. Disini aku masih mencari sebuah rumah untuk singgah dan kemudian berpisah.
Bagaimana bisa sebuah cinta datang tanpa ada rasa sempurna? Bukan kesempurnaan tanpa silang dan bersapa.
Aku hanya ingin menari dan menari. Menggugurkan setiap titik-titik jenuh pada air yang melimbah.
Bukan hati jika tanpa rasa memiliki pipihan batu nisan bersamanya untuk selama hancur. Cubitan perih berliar titian pintu sesama hati. Dia disini biar luka tanpa ada hati. Bila mati aku berdiri dan mengayuh tanpa henti.
Bagaimana bisa jika sebuah raga tak bernyawa membawa ribuan hampa dimata neraka? Aku berdiam dalam naungan segelas darah dibawah untaian titian pian.
Berjuang tanpa peluh membuah aku mengeluh bersama seduh dalam air mata keruh. Meninggalkan setiap asa yang tidur berselimut perasan asa biasa. Diam bukanlah suatu cara untuk berhenti berjalan sia-sia. Jika aku adalah peluh, aku akan bersetubuh dengan jingga agar tercipta jiwa yang binasa. Maukah kau menjadi pendamping hati yang tak bernyawa ini? Berlari diantara sebuah kepulan-kepulan asap yang bersahutan.

*************

Angin berhembus perlahan meniup serpihan-serpihan kecemasan tak beralasan. Diam tetap menjadi satu pilihan untuk nyaman dan bertahan. Sedikitkah aku bergandengan dengan tipuan mata sekejap ajaib bersama bintang kejora. Tutup mata dan berusaha berdiam. Tutup mata dan berusaha berlari. Tutup mata dan berusaha lupakan semua.....

Selasa, 16 Juli 2013

Sekejap Rasa

Lihat apa yang terjadi, dengan semua rencanaku,
Hancur semua berantakan..
Dia berjalan keluar dari lingkaran hidupku,
bebas ku lepaskan dia...

Malam ini lagu itu yang terdengar di telingaku. Menemani iseng-isengku di kantor. Iya, sekarang sudah lewat pukul 21.00 WIB. Tapi aku masih di kantor. Lumayan lah bertemu beberapa orang kantor dan melepas kesendirian. Walaupun orang-orang kantor juga pada sibuk di depan meja masing-masing, sedangkan aku sibuk ngisi blog dan buka beberapa akun jejaring sosial karena kerjaan sudah beres. *hihihi

Malam ini entah apa yang aku pikirkan. Tiba-tiba teringat pada seseorang dari masa lalu. Sedang apa ya dia sekarang? Nonton tv, online, atau main game seperti yang biasa dia lakukan dulu?

Aku masih mengingatnya. Tentu saja...

Meskipun sekarang sudah tidak ada artinya apa-apa, tapi setidaknya dulu dia pernah mengisi hari-hariku selama 11 bulan. Mungkin memang bukan waktu yang lama jika dibandingkan dengan yang pernah bersama lebih dari 9 tahun. Tapi arti dia untukku saat itu lebih dari 100 tahun.

Iya, saat itu...

Mungkin ada sekitar 1 tahun aku tidak mendengar kabarnya. Iya, pelan-pelan aku sudah bisa membiasakan diri untuk tidak kepo membuka akun facebooknya, ataupun facebook pacar barunya. Setidaknya aman untuk menenangkan diri.

Aku yakin perasaan untuknya sudah mati. Aku yakin sudah tidak berharap padanya lagi. Namun aku masih saja takut untuk kembali menjalin silaturahim. Aku takut jika aku masih belum bisa menguasai diri. Aku takut terpuruk lagi...

Tapi nanti suatu hari, aku pasti akan menemuinya. Menemui keluarganya. Nanti setelah aku sukses. Seperti janjiku pada Mamanya. Bukan untuk apa-apa, aku hanya ingin membayar janjiku. Mungkin saat itu aku juga akan menyampaikan undangan pernikahanku.

Pasti.

Karena hidup harus berputar,
biarlah berputar...
akan ada harapan,
sekali lagi..
seperti dulu..

Selasa, 09 Juli 2013

Catatan Awal Ramadan

Hujan deras mewarnai malam tarawih pertama.
Semoga ini sebuah pertanda pelunturan dosa.

Welcome Ramadan!!!
Sebuah kalimat yang sedang in saat ini. Di status facebook, twitter, blackberry messanger, line, dan akun-akun jejaring sosial lainnya. Sms dan broadcast message permintaan maaf dan ucapan selamat pun mulai berdatangan tanpa diundang. Begitulah...
Salah satu euforia dari masyarakat Indonesia. Terkadang tepat sasaran, tapi tidak jarang pula berlebihan. *hela nafas*
Ini Ramadan pertamaku berada di tempat yang memang jauh dari orang tua. Lebih dari 700 km yang bisa ditempuh dengan waktu sekitar 12 jam menggunakan kereta api Bangunkarta, dan sekitar 1,5 jam menggunakan pesawat terbang. Biasanya paling jauh juga masih satu propinsi, yang bisa dilalui dengan beberapa jam saja menggunakan motor. Tapi kali ini berbeda...
Jika biasanya aku menyempatkan pulang ke rumah untuk sahur pertama atau buka puasa pertama bersama orang tuaku,kali ini aku tidak bisa. Aku memaksa diriku untuk menerima bahwa kami berjauhan. Aku akan sahur sendirian nanti. Iya, sendiri saja...
Beginilah...
Mengutip omongan mbak Soimah beberapa hari lalu, "Ini memang pilihan yang sangat berat sebenarnya. Tapi kan sudah niat, ke Jakarta untuk kerja. Jadi ya harus di jalani. Yang penting fokus kerja, nggak neko-neko, niat bener."
Benar memang. Kerja di Jakarta harus ekstra hati-hati. Harus bisa jaga diri. Harus punya niat yang kuat. Memang sih, Ibu Kota lebih kejam dari Ibu Tiri itu adalah statment yang salah. Totally wrong! Yang kejam itu bukan Ibu Kota, tapi sebagian besar penduduknya... *hela nafas*
Hingga 2 bulan aku berada di kota ini, sama sekali belum bisa menemukan seseorang yang bisa dipercaya dan membuatku merasa nyaman berteman dengan dia. Walaupun pada dasarnya aku adalah orang yang sangat susah percaya pada orang lain, tapi bukan berarti aku tidak mencoba. Aku sudah. Dua kali malah. Dan berakhir sama: ditusuk dari belakang. Padahal baru 2 bulan loh...
Lagi-lagi sebuah pembelajaran. Don't judge the books from the each cover. Sekarang sudah banyak teknologi moderen untuk membuat tampilan cover yang yahud. *opo ikiii*
Tugasku sekarang adalah memperbanyak istighfar. Membentengi diri dengan bacaan-bacaan tasbih. Selalu mengingat Allah. Karena di kota besar semacam Jakarta ini, banyak sekali hal-hal yang mudah menyulut emosi. Pantikan batu kecil saja sudah bisa membuat kobaran api besar. Belum lagi tidak ada orang-orang terdekat yang bisa mengingatkan. Jadi harus bisa jadi alarm bagi diri sendiri. *ndamoni ati*
Aku hanya berharap, semoga Ramadan kali ini benar-benar menghujankan berkah untukku. Perubahan diri, dan kabar baik dari rejeki. Aku masih ingi terus berjuang.

Sebuah lagu dari Sheila On 7 yang bertajuk 'Dan' versi akustik gitar mengiringi akhir tulisan ini.
Suara Mas Duta dan iringan petikan gitar Mas Eross benar-benar menghanyutkan.
Membawa rasa hati ke tepian...

Sabtu, 06 Juli 2013

Jenuh

Datang, pergi, datang, kemudian pergi lagi...
Hidup itu tak semudah air mengalir saat musim penghujan.
Masih banyak penyumbat-penyumbat yang perlu segera dibersihkan.

Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Itu artinya aku harus kembali ke kantor dan menunggu waktu rapat mingguan tiba. Tapi entah mengapa, berat sekali rasanya hati untuk melangkah. Yang ku lakukan justru memasang earphone kemudian memanggil satu kontak telepon di ponselku.

"Mas jadi pulang?" tanyaku.
"Adek jadi ikut?" suara di seberang sana balik bertanya.
"Pengen. Tapi kan adek nggak libur," jawabku segera.
"Ya trus gimana? Kalau adek mau ikut, hayuk," dia ikut menjawab.
"Tapi aku kerja," jawabku lagi dan disusul dengan isak tangis perlahan.
"Halo, dek, adek kenapa? Kok nangis?" tanyanya kebingungan.

TAngisku makin menjadi. Aku makin mencercau dan semakin terisak. Aku bingung....

Ini kebiasaan buruk. Ini sering terjadi saat aku mulai merasa jenuh. Saat aku nggak kuat lagi membendungnya dan nggak bisa mengelus diri sendiri untuk bersabar.
Aku sedang berkutat dengan semua ketakutanku. Entah mengapa tiba-tiba hari ini aku menjadi teramat takut melakukan segala sesuatu. Takut mengambil langkah. Takut salah arah. Takut...
Padahal beberapa waktu lalu aku berhasil menjadi motivasi untuk diri sendiri. Aku berhasil membuat diriku sendiri bersemangat dan selalu positif. Tapi kenapa sekarang...

Ah entah lah... Aku masih lelah berpikir. Walaupun aku tahu yang aku rasakan ini adalah jenuh, bukan lelah dengan hidup, seperti dulu.

Tuhan, aku tahu engkau Maha Mendengar. Engkau Maha Penyayang. Aku berlindung di pelukanMu yaa Allah, dari segala ketakutanku.